BudayaKudus

Sutikno Dalang Wayang Klithik, Pentas Setahun Sekali, Kerjanya Srabutan

Share

Kudus, Dupanews – Sutikno (45) tetap berusaha agar wayang klithik (WK) tidak punah. Ia juga bercita cita agar WK yang ada sekarang ini  secepatnya dibuatkan tempat khusus. Sebab tingkat kerusakannya sudah mencapai 95 persen lebih, “Sebenarnya “hanya” butuh biaya Rp 1 – Rp 1,5 juta untuk memperbaiki semua WK yang berjumlah sekitar 60 buah. Sedang untuk tempat pajangan saya tidak tahu berapa biayanya. Yang pasti saya tidak mampu untuk membiayainya” tuturnya terus terang saat berbincang dengan Dupanews, Rabu (24/2/2021).

rumah sederhana dalang wayang klithik Sutikno (Foto Sup)

            Ia dikenal sebagai dalang tunggal WK dan tinggal di sebuah rumah kecil sederhana Desa Wonosoco Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, Ruang tamunya berukuran sekitar 3,5 x 3 meter. Tidak ada meja kursinya.

            Tapi ada satu tikar plastik, satu kasur tanpa sprei (alas kain), satu televisi kuno ( tabung), sebuah rebab, sejumlah foto. Dan yang menarik di tembok kiri, terdapat selembar kelir  yang dirangkai menyatu dengan sebatang pohon pisang ukuran kecil sebagai alas, satu kotak kecil berisi beberapa lembar wayang kulit, dan satu “keprak” (alat dalang terbuat dari besi/tembaga dan dimainkan dengan kaki). “Ini tempat “pentas” sehari hari anak saya yang bercita cita jadi dalang” ujar Sutikno, yang memiliki dua anak. Anak pertama Adita Aji Pramono yang biasa dipanggil Adit. Sang adikAhmad Tino Muzaqi  atau Tino. Isterinya Siti Umaiyah.

            Meski terkenal sebagai dalang WK, tapi setiap tahun rata rata hanya pentas dua-tiga kali saja. Satu kali wajib, yaitu di seputar sendang Desa Wonosoco. Selebihnya menunggu pesanan dari luar desa. “Khusus tahun 2020, saya hanya pentas wajib di desa sendiri dua kali/dua hari. Saya dibayar Rp 2 juta dari Pemerintahan Desa . Sedang untuk pesinden dan  pengrawit ( penabuh gamelan) saya tidak tahu,” tuturnya terus terang.Setiap pentas, melibatkan sekitar 15 perssonil, termasuk pesinden dan penabuh gong dua orang,

            Guna menghidupi seorang isteri dan dua anak, Sutikno setiap harinya hanya bekerja serabutan. Ia memperoleh bantuan program sembako 2020 senilai Rp 200.000/bulan. Begitu pula untuk isteri dan anaknya juga mendapat bantuan program lain dari Departemen Sosial,

            Meski kehidupan sehari-harinya serba pas-pasan, tapi Sutikno masih menyatakan bersyukur. Karena pesan ayahnya ( almarhum) untuk melestarikan WK tetap dijalankan sampai sekarang. Tersendat sendat, nyaris tidak tidak ada yang nanggap.

Ia mengakui dalang seperti dia memang tidak sebanding dengan dalang wayang kulit. Baik dari sisi banyaknya pentas, honor yang diterima maupun penonton, Banyak warga yang tidak tertarik karena lakon yang dimainkan tergolong kuno , waktu terlalu lama dan tidak bervariasi.

Menurut Sutikno itulah yang sebenarnya jadi hal yang mendua di hati. Di satu sisi ia ingin pagelaran WK selalu “pakem” ( dasarnya, sesuai aslinya). Di sisi lain sebagai upaya untuk mendongkrak nilai jual. “Tapi seperti pepatah, “dalang iku ora  kurang lakon”. Saya pernah ditanggap pihak Universitas Muria Kudus (UMK), pemerintah kabupaten dan perusahaan. Macam macam yang diminta. Seperti dimasukkan unsur ndangdutan. Ada yang minta jam pertunjukan selesai dalam waktu satu jam saja. Semua bisa kami penuhi kok. Tokoh tokoh dalam lakon lakon kerajaan bisa diselipkan tokoh tokoh baru,”

Pakeliran-layar salah satu perangkat untuk mementaskan wayang kulit terpasang di ruang tamu rumah dalang Sutikno (Foto Sup)

            Sedang untuk pengrawit/ penabuh gamelan, Sutikno sampai saat ini masih bersikukuh tidak mau kompromi. Karena salah satu factor nilai seninya akan hilang. Apalagi bagi penonton yang mengerti betul tentang kelengkapan pentas itu menjadi hal yang baku. Lalu untuk pakeliran dan pernik pernik lainnya mungkin bisa dirubah.

Pada masa lalu, pertunjukan wayang klithik merupakan pertunjukan yang bersifat ritual sakral. Diadakan pada waktu-waktu tertentu pada setiap tahun, misalnya pada hari raya, pada waktu dilakukan bersih desa. Keduanya ditanggap oleh desa setempat dan biasanya bergiliran dari satu desa lainnya. Ditanggap secara pribadi pada pesta-pesta perkawinan dan upacara-upacara ritual lainnya yang menurut tradisi merupakan bagian upacara yang harus dilakukan. Pada hari-hari biasa merupakan pertunjukan barangan yang singkat di tempat-tempat umum seperti alun-alun, dijalanan dan di rumah-rumah penduduk yang hanya ingin menanggap untuk sekedar kesenangan.  

Pada 7 November 2003 seni wayang Indonesia dinobatkan sebagai warisan budaya lisan nonbendawi oleh Unesco. Piagam bertuliskan “Wayang Puppet Theatre Indonesia a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”.

Wayang merupakan cagar budaya yang merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia. Wayang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Hal itu perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk kemakmuran rakyat.

 Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cerita pewayangan sarat dengan pesan kebajikan dalam hal pendidikan, dakwah, hiburan, kritik sosial, humanisme yang mengandung nilai sejarah.

Wayang dari aspek bahan baku pembuatannya beragam hingga muncul penyebutan seperti wayang kulit (terbuat dari kulit hewan) atau wayang cumplung (terbuat dari tempurung buah kelapa tua yang jatuh sendiri dari phonon).

 Di Kudus pembuatan wayang berasal dari kayu jika dimainkan timbul suara ‘klitik’ sehingga disebut wayang klitik (WK). Wayang klitik hanya berada di Desa Wonosoco, Undaan, Kudus mengalami fase memprihatinkan.

 Pertama, generasi kedua dalang wayang klitik di Kudus, Sutikno (putra almarhum Sumarlan, Dalang Wayang Klitik asli Wonosoco wafat medio 2013) belum memiliki kader untuk regenerasi. Kehidupannya menanggung beban isteri dan kedua anaknya dalam kondisi pra-sejahtera.

 Kedua, wayang klitik hanya dimainkan setiap tahun sekali. Hal ini berdampak terhadap minimnya jam tayang wayang klitik sehingga menjadi asing bagi generasi di Kabupaten Kudus dan sekitarnya.

 Ketiga, minimnya perhatian Pemkab Kudus terhadap kesejahteraan dalang dan niyogo (pemusik wayang).

            Melestarikan keberadaan wayang klitik, aksi yang harus dilakukan Pemkab Kudus menurut Moh.Rosyid,  pertama, menjembatani sumber kesejahteraan atau pekerjaan agar dalang dan 12 pemain musiknya (niyogo) yang asli warga Wonosoco tidak bekerja di luar daerah karena jika ada tamu yang ingin memahami dan mendialogkan wayang klitik dapat dilayani.

Kedua, tradisi apitan yakni pagelaran wayang kulit mengundang kelompok wayang kulit dari luar daerah setiap Bulan Apit, seyogyanya memanfaatkan wayang klitik agar dalang beserta kelompoknya mendapatkan tambahan kesejahteraan dari honor manggung.

 Ketiga, pemerintah menyediakan area untuk menyimpan wayang klitik produksi tahun 1969 yang telah rusak (dimuseumkan) supaya dapat disaksikan oleh generasi masa mendatang. Wayang Klitik kini merupakan karya warga Wonosoco sendiri.

 Keempat, pengadaan jenis wayang klitik yang beragam agar dapat memerankan berbagai tokoh, selama ini hanya 60 jenis/pelaku/nama.

 Kelima, warga masyarakat di luar Desa Wonosoco dapat memanfaatkan penampilan Wayang Klitik agar lebih dikenal warga secara luas tidak hanya di Desa Wonosoco sehingga perlu sosialisasi dari dinas terkait.

 Penghargaan Pemkab Kudus pada dalang Wayang Klitik Kudus selama ini hanya sebagai pemandu budaya yang menerima honor per bulan Rp 200 ribu melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kudus.

Keprihatinan terhadap eksistensi wayang klitik diperkuat minimnya penonton yang menyaksikan pagelaran setiap tahun. Penulis menyaksikan lamanya waktu pagelaran (pukul 10.00 s.d 16.00 WIB) dan cerita yang tersaji bagi generasi muda dianggap tidak menarik yakni memainkan lakon dunia ketoprak.

 Dengan demikian, perlu sentuhan yang bijak agar wayang klitik tetap menarik dengan dipertahankan keunikan dan kelangkaannya dengan dikenalkan pada peserta didik dalam bentuk ekstrakulikuler (ekskul). Sebagaimana pengenalan musik tradisional angklung dari Jabar yang diakui Unesco pada 2010 sebagai musik tradisional dari Indonesia. Tak bedanya gambang kromong khas Betawi.

Wayang Klitik dan Media Dakwah:

Upaya melestarikan sumber mata air dengan acara ritual dan pagelaran wayang klitik masih diuri-uri warga Desa Wonosoco, Kecamatan .Undaan, Kudus. Sebagaimana berlangsung  pada Minggu, 10 Agustus 2014.

Peringatan yang seyogyanya setiap bulan 7 (Juli) tapi bertepatan bulan Ramadan sehingga diundur kemarin. Bulan 7 merupakan simbol 7 sumber air (sendang) yang masih eksis di Wonosoco bermanfaat untuk sumber kehidupan warga, yakni sendang gua cantik, dewot, blalak, gading, kalijogo, belik kalijogo, dan sendang dewot.

 Angka  ‘ 7 ’ (saptomarto tulodo) bermakna; tu (pitu) pituduh (petunjuk), amarto : segera toto-toto (siap-siap) esensi hidup yakni siap hidup juga siap mati, tlodo yang memimpin harus dapat dijadikan tauladan.

 Ahad lalu, diperingati dengan ritual dan pagelaran wayang kulit di sendang gading. Dalam cerita rakyat, air dari sumber gading atau sendang kembang berkasiat bagi gadis yang ingin kawin dapat segera terlaksana dengan mencuci muka atau untuk kesembuhan dari berbagai penyakit.

 Wayang klitik pada masa lalu diperankan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah di wilayah sepanjang Pegunungan Kendeng / Pegunungan Kapur (Kudus hingga Blora- sebagian wilayah Jawa Timur).

 Keberadaan sendang secara alami dan lestari karena banyaknya pohon yang rindang. Kekhawatiran warga Wonosoco, dengan gundulnya pepohonan di lingkungan desa Wonosoco dikhawatirkan mematikan sumber sendang.  Lakon yang dimainkan Ki Dalang Sutikno (asli warga Wonosoco) adalah Sigit Suwargo Bandang. Ki Dalang memberikan pesan bagi pemimpin dengan bekal karakter hidup berupa: wibawa, jujur, sehat (sentosa) lahir dan batinnya, dan adil.Bekal hidup  berupa: ilmu yang bermanfaat, memiliki anak yang saleh, amal kebajikan. (sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button