Bebas

Quo Vadis Kebun Raya Bogor? Oleh : Prof Lukman Hakim Apt (Mantan Ketua LIPI)

Share

Sabtu pagi yang cerah, PPKM mereda. Pastilah nyaman sekadar jalan lari ringan di Kebun Raya Bogor (KRB). Kangen juga dengan udara dan bebauan khasnya.

Potokol masuk ketat. Agak kaget juga karena tiket masuk weekend kalau tak salah Rp. 26.500. Kaget kedua, begitu masuk dari gerbang utama, belok kanan terpampang pagar berposter. Rupanya sedang berlangsung kegiatan konstrusksi.

Apa yang tertulis? Oh, akan ada objek baru. Dan itu, didedikasikan khusus untuk objek wisata malam hari. Wisata malam? Saya lupa judulnya, ada kata glowing- glowingnyanya begitu deh. Sponsornya Bank Mandiri dan BRI.

Apa yang tengah terjadi sebenarnya? Alhamdulillah jawabannya segera dapat. Disitu saya jumpa k IB, bu Hen dan banyak para senior mantan pegawai KRB. Rupanya KRB saat ini sudah dialihkelolakan dari LIPI ke pihak swasta. Bukan hanya Bogor, tapi empat jumlahnya, antara lain Cibodas. Kata para mantan, “muhun pak, nguping wartos, eta ti group Kompas.

Sontak dada jadi terasa sesak. Lho kok bisa, ada asset negara yg tak terperi nilainya, bisa dialihkelolakan tanpa ada semacam public hearing? Kok warga Bogor (setidaknya saya, maaf) tidak tahu? Kok bisa- bisanya pihak swasta lantas tetapkan tarif, aturan ini itu, bangun tempat atraksi, di tengah lahan sempit konservasi? Kok bisa- bisanyanya si-swasta itu adalah dia, dan bukannya dia? Pakai kontes?

Apa kata ketua LIPI? “Kami tak punya kapasitas dan kemampuan untuk eksplorasi potensi kebun raya”  Lalu bagaimana? “Agar kebun raya bisa dikelola dengan cara yang berbeda dan kekinian, tapi dengan nuansa alam, maka diundanglah swasta.”

Halooow? Ini kan “Botanical garden”  yang per definisi kurang lebih urusannya riset. Tugasnya menjaga tanaman langka, wabil khusus tanaman yang tumbuh di luar habitatnya. Urusan edukasi, lingkungan, dan pendidikan. Bukan taman atraksi, apalagi malam hari?

Saya tak tahu apakah ini keputusan tepat atau tidak. Tapi saya dengan sangat jelas membaca raut dan gesture yang tak nyaman di wajah beberapa mantan pegawai.   Bagi mereka, helai demi helai daun, akar batang ranting 1.300 pepohonan langka, adalah aliran darah, degub jantung dan tarikan nafas puluhan tahun masa kerja.

Mereka hapal satu demi satu, dimana anak- anak  mereka tumbuh. Peta tumbuhan tercetak di dalam  kepalanya. Mereka menangis tak berdaya ketika tanah rumput jalan setapak dengan daun jatuh yang ramai, diganti beton.             Kita, warga Bogor, yang sudah begitu sedih dengan raibnya kawanan kelelawar, bisa jadi akan memanen kesedihan baru dengan hadirnya “KRB kekinian” dimana aneka ragam tumbuhan hadir sekadar “nuansa alam”. Dia hanya duduk di pojok objek wisata kekinian. Semoga tidak. (Sup)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button